Menemukan Cinta Revolusioner di dalam Alienasi dunia

Cinta. Sudah berapa banyak puisi ditulis, berapa banyak karya seni diciptakan, berapa banyak tinta ditumpahkan tentang cinta? Hal ini dilakukan karena alasan manusia untuk mencoba memahami rahasia cinta dan keajaiban di balik kata cinta. Pada saat yang sama, arti dan substansi dari cinta itu sendiri masih menjadi misteri. Saat ini, banyak jenis definisi tentang cinta. Kadang terdengar kalimat bahwa cinta dapat menyelamatkan kita semua, kadang mereka juga berkata cinta itu buta. Kadang cinta itu menyakitkan, dan kadang cinta juga menyembuhkan. Tapi cinta seperti apa yang kita bicarakan, dan dalam kondisi seperti apa cinta itu bermakna juga membebaskan?

Ketika kita berbicara dan berpikir tentang cinta, kita harus mempertmbangkan kondisi sosial dan politik di era kita. Dalam sebuah masyarakat yang dibentuk oleh kapitalisme, egoisme, seksisme dan alienasi yang diraskan tiap individu, makna dan substansi cinta menjadi sangat tidak jelas dan gaib. Kita nyaris tidak bisa memahami dan merasakan cinta lagi. Apa artinya mencintai, di dalam tekanan yang berlebih di mana seseorang menemukan dirinya terjebak antara anonimitas, konsumsi berlebihan, eksploitasi dan perang? Hal ini sering terjadi, di mana konsep cinta dikembangkan untuk melarikan diri dari kehidupan sosial dan menciptakan “safe bubble” di tengah kekacauan dunia juga masyarakat yang egois. Namun pendekatan cinta yang seperti itu cepat atau lambat hanya untuk merasakan frustasi dan kekecewaan.

Bukan hanya hubungan romantis, tapi juga hubungan antara orang tua dan anak, antara manusia dan alam, antara indvidu dan masyarakat harus dianalisis dan direvolusi untuk membebaskan diri kita dari belenggu sistem kapital dan untuk menciptakan “true love” menjadi suatu hal yang mungkin. Masyarakat umumnya berbicara cinta, mereka biasanya mengartikannya dengan monogami, hubungan hetero seksual. Nyatanya pandangan tersebut sangat jauh dari cinta. Seksisme dan kekerasan yang mengatasnamakan cinta merupakan bagian dari dunia yang disebut-sebut sebagai “romantic relationship”. Media mainstream dan banyak literatur meromantiskan dan mengidealkan hal-hal seperti stalking, pelecehan, kekerasan seksual serta peran gender. Oleh karena itu, cinta harus dianalisa dan dipertimbangkan mengingat kuatnya budaya seksisme dalam masyarakat.

Persaingan dan pengasingan terhadap wanita adalah satu dari sekian banyak cara patriarki tumbuh. Melawan seksisme membutuhkan perlawanan terhadap budaya “shaming women”. Dalam konteks ini, media sosial berperan penting di beberapa tahun terakhir. Banyak penulis feminis, jurnalis, blogger, dan aktivis mampu memengaruhi dan mengembangkan kesadaran dalam gerakan feminis. Berbagai macam isu didiskusikan, termasuk isu queer, anti-kolonial, anti-rasis dan anti-kapitalis melalui sudut pandang feminisme. Media sosial telah menyediakan kita kesempatan untuk terhubung dan mengorganisir secara global. Alih-alih mengintensifkan diri untuk fokus terhadap kecantikan fisik dan konsumsi, media sosial berpotensi besar dalam menguatkan solidaritas. Membuat cinta dalam bentuk revolusioner lahir dan tumbuh.

Tapi dari itu semua lelaki patriarki lah yang harus belajar ulang tentang cinta dan revolusi dari dalam dirinya. Norma sosial yang telah melekat pada lelaki harus ditolak dan dilawan untuk mencintai secara seutuhnya dan menghargai yang dicintai. Tak peduli dengan cara seperti apa, lelaki patriarki harus dihancurkan. Tentu saja bukan lelakinya yang harus mati, melainkan seksisme, juga hegemoni maskulinitas harus dilawan. Untuk mencintai dengan sungguh-sungguh, hasrat untuk mengontrol dan memegang kuasa harus ditinggalkan selamanya. Tradisi patriarki yang dominan serta mentalitas tersebut mesti dipatahkan. “Hubungan romantis” dewasa ini jauh dari cinta yang sesungguhnya, di dalam banyak kasus hubungan ini hanya berdasarkan peran gender. Pernikahan biasanya hanya terlihat seperti hal yang akan membawa keamanan dan cinta. Namun pernikahan merupakan sebuah usaha dalam menindas wanita. Karena romantisasi terhadap pernikahan, banyak orang tidak tahu tentang akar patriarki dalam institusi pernikahan. Banyak juga yang tak menyadari bahwa pernikahan adalah alat penting dalam budaya patrairki dan kapitalisme, yang mana memaksa wanita menjalankan perannya untuk mereproduksi manusia juga sebagai pekerja di dalam rumah tangga, yang merupakan bentuk tenaga kerja tanpa upah.

Seperti apapun alternatif lain, sedemoktratis apapun pernikahan, ia tetaplah alat untuk mempertahankan budaya patriarki. Dan cinta tak akan bisa diinstitusikan, khsusnya di dalam negara kapitalis modern. Selain itu, kita dapat melihat kekerasan di dalam hubungan dan pernikahan. Kehidupan sosial yang seksis cenderung menciptakan lelaki percaya bahwa perlakuan kasar bahkan kekerasan dalam hubungan merupakan hal yang normal, di sisi lain berdampak pada kaum wanita untuk menerima kekerasan seksual, verbal maupun non verbal. Itu hanya satu dari sekian banyak permasalahan lainnya.

Masyarakat industrialis yang telah berlangsung lebih dari satu abad juga meningkatkan anonimitas dan alienasi antara individu. Karya seni ekspresionis di awal abad ke-20 di Jerman memperlihatkan sebuah generasi artis dan pegiat seni merasa terancam di kota-kota besar, yang mana merupakan hasil dari disintegrasi, isolasi, ketakutan, dan perasaan dunia akan segera berakhir. Saat ini, anonimitas di dalam kota-kota besar adalah realita bagi tiap individu. Belum lama ini, seorang kawan pernah berkata “di dalam dunia kapitalis ini, kau bisa mati di dalam rumah tanpa diketahui dan disadari oleh orang-orang di sekitarmu”. Apa yang dia katakan adalah hal yang benar. Kita terbiasa dan merasa nyaman saat merasa terisolasi dan kesepian, karena tak ada yang ingin merasakan keterasingan dan kesepian manusia lain. Kau bisa membusuk di dalam kontrakan, tak ada yang peduli, hingga bau busuk mulai tercium dan mengganggu orang sekitar. Rasa kehampaan dan hilangnya arti hidup cepat atau lambat menelan kita. Semakin kita melarikan diri dari peradaban dan kehidupan sosial, semakin kita merasa tidak bahagia, semakin hidup terasa tidak bermakna.

Cinta, harus dipahami sebagai sesuatu yang bebas dan memberikan kehangatan, ia akan memberikan makna. Orang-orang yang memahami cinta, orang-orang yang meraskan sentuhan ajaib dari cinta, tak lagi perlu mencari rasa yang lebih indah dalam hidup. Tidak pada uang, kekayaan dan keuntungan, tapi di dalam cinta kita menemukan hidup serta kebebasan. Mungkin ini adalah alasan dari banyak orang membuat harapan yang tinggi, lalu kemudian memaksa orang lain masuk ke dalam keterasingannya. Tak peduli apakah sendiri atau berdua, rasa keterasingan tetaplah keterasingan. Cinta tak akan bisa tumbuh di dalam keterasingan. Tidak terhubung dalam kehidupan yang kolektif, atau dalam komunitas hanya akan mengarahkan kita pada rasa tidak puas dan rasa frustasi. Hal ini bisa kita lihat dalam hubungan antara orang tua dan anak. Ketika orang tua terus memaksa untuk mengambil posisi dalam hidup anaknya dan menjauhkan anak tersebut dari kehidupan sosial, anak itu hanya akan memiliki rasa takut dan menjaga jarak dalam berkehidupan sosial, disaat yang bersamaan ia tak mampu untuk mengembangkan otonominya sendiri. Tapi di sisi lain, saat seorang anak tumbuh untuk mengasihi orang lain, ia akan belajar nilai rasa kasih.

Saat manusia saling mencintai, tak seharusnya mereka memanfaatkan cinta hanya sekadar untuk lari dari kesepian yang selama ini dirasakan. Kita telah terbiasa dalam hal mengkonsumsi, disadari atau tidak. Kapitalisme melatih kita untuk mengkalkulasi segala hal, inilah yang membuat kita menjadi penuh perhitungan saat berteman, juga saat mencintai. Ketika seseorang mengecewakan atau menyakiti perasaan kita, atau hanya sekadar tidak memenuhi ekspektasi, kita cenderung berpikir bahwa apa yang kita lakukan dan berikan kepada mereka hanyalah sia-sia. Kita marah pada diri kita sendiri karena telah “menginvestasikan” waktu, kepercayaan dan cinta. Seakan cinta dan rasa kasih adalah nilai saham di pasar modal, dan seakan cinta kita adalah hal yang limited. Cinta bukanlah upaya untuk mencari posisi yang kemudian harus kita miliki dan pertahankan. Cinta berarti perjuangan, bukan hanya perjuangan untuk melawan, tapi juga untuk menemukannya. Cinta harus memenuhi dirinya sendiri. Dan ini bukan hanya berlaku pada hubungan romantis, tapi untuk segala jenis hubungan. Kita terkadang cenderung melarikan diri saat sesuatu yang kita inginkan tidak sesuai harapan. Anonimitas dan pilihan untuk mengasingkan diri memberikan kita rasa nyaman kemudian melarikan diri dari masalah. Saat melakukan hal tersebut, kita hanya memikirkan diri kita sendiri. Karena pada akhirnya, kita memiliki “safe bubble” untuk melarikan diri. Ketakutan seperti ini hanya menjauhkan kita dari rasa cinta yang mendalam.

Bukanlah hal yang mudah bagi tiap individu mengatasi rasa keterasingan dan alienasi di bawah kapitalisme dan mentalitas patriarki yang telah berjalan selama 5000 tahun, namun kebiasan lama, tabiat, serta kepercayaan untuk merevolusi hati dan perasaan kita. Seperti yang dituliskan oleh salah satu anggota Black Panther, Mumia Abu-Jamal menuliskan

“The youth is, the natural carrier of revolutionary energy, they are capable of changing themselves in the face of overwhelming forces, using their bodies — seething with revolutionary transformation — to change their environments, and enact social change”

Jika generasi muda mampu memenuhi perubahan radikal — seperti yang dikatakan Mumia Abu-Jamal di atas — perubahan tersebut akan menyebar ke seluruh dunia, dan melahirkan kelahiran masyarakat baru, dibangun dengan cinta yang benar-benar revolusioner sebagai fondasinya. Untuk menyadari sebuah cinta antara dua manusia, salah satu dari keduanya tak harus mengalami perubahan, itu bukanlah sesuatu yang esensial. Kadang pertikaian atau perdebatan di dalam internal sebuah kolektif tidak bisa dihindari. Pertikaian atau perdebatan internal ini bukan berarti membenci satu sama lain, namun perubahan untuk melawan seksisme di dalam internal kolektif, seperti kritik otokritik. Sorang kamerad bernama, Mehmet Aksoy (Firaz Dag) meninggalkan sepotong kalimat;

“Don’t surrender to capitalism, don’t surrender to materialism, ugly relationships, lovelessness, disrespect, degeneration and inequality. Don’t surrender.”

Seseorang yang benar-benar mengasihi harus berjuang melawan segala bentuk mekanisme yang menghalangi jalan menuju cinta. Membongkar mekanisme tersebut dan memberontak adalah salah satu tanggung jawab pada generasi muda revolusioner. Masyarakat bebas yang ideal haruslah “dicari” dan disadari secara kolektif.

Cinta itu mirip dengan revolusi. Keduanya sering disalah pahami. Seperti revolusi yang tak boleh berhenti pada suatu titik tertentu, cinta juga tidak berhenti pada suatu titik. Banyak orang berpikir revolusi adalah sebuah peristiwa, satu momen di mana semuanya berubah. Tapi sejarah dan gerakan revolusi saat ini mengajarkan kita, revolusi merupakan proses. Sebuah revolusi, seperti yang kita lihat saat ini di Rojava (Suriah Utara) haruslah menjadi sebuah proses permanen, yang juga merevolusi semua bagian dari hidup dan masayarakat, agar hal yang diidealkan dan diperjuangkan menjadi lebih terlihat dan bermakna. Ini juga berlaku pada cinta. Cinta bukanlah sebuah insiden, bukan peristiwa. Saat berbicara tentang “romantic love”, cinta bukan sekadar hanya jatuh cinta dan kemudian berdiam diri pada peristiwa tersebut. Cinta tidaklah statis. Cinta melibatkan aktivitas, cinta adalah energi yang mengalir. Cinta mampu menemukan kita dengan situasi dan tantangan baru, karena ia membutuhkan itu untuk memperkuat dirinya. Rasa kasih yang sebenarnya berarti saling mendukung dan menghargai, berani dan jujur, membawa rasa cinta itu ke dunia dalam bentuk menjaga dan mencintai komunitas atau orang di sekitar kita. Seorang filsuf dan psikoanalisis, Erich Fromm menuliskan;

“If I truly love one person I love all persons, I love the world, I love life. If I can say to somebody else, “I love you,” I must be able to say, “I love in you everybody, I love through you the world, I love in you also myself.”

Kita masih sangat jauh dari semua jenis cinta seperti yang telah dituliskan sebelumnya. Tapi untuk memulainya, kita harus terlebih dahulu menyadari untuk mencintai kita memerlukan kesadaran, moral dan hasrat untuk mengubah diri sendiri serta lingkungan sekitar kita. Di dalam masyarakat yang penuh dengan rasa egois, persaingan, dan ketakutan, cinta tidak akan tumbuh. Mereka yang berjuang demi cinta tak akan lagi mengenal rasa takut dan mendapatkan kekuatan yang ia butuhkan untuk membuka jalan peradaban yang merdeka. Cinta mampu mengalahkan amarah, ketakutan, dan kebencian.

“Building something might be more difficult, but it is much stronger than destroying something”.

Sebuah slogan yang selalu dikatakan oleh Gerakan Kurdish di Rojava, “If you want to live, live in freedom!” – cara yang sama dikatakan oleh generasi muda, feminis, filsuf, artis, dan revolusioner, “If you want to love, love in freedom!”

Tulisan dari terjemahan Finding Revolutionary Love in a World of Profound Alienation oleh Hêlîn Asî, 27 Juni 2018

https://theanarchistlibrary.org/library/helin-asi-finding-revolutionary-love-in-a-world-of-profound-alienation