Pendahuluan
Kami memutuskan untuk mengkompilasi kritik terhadap demokrasi, karena kami menyadari adanya ketegangan atau perselisihan antara demokrasi dan kebebasan individual untuk menciptakan cara hidupnya sendiri, yang pastinya berbeda-beda pada setiap individu. Beberapa permasalahan yang kami temukan pada demokrasi juga telah diakui dan diketahui oleh para pembela sistem demokrasi, para pembela demokrasi ini hanya mampu mengembangkan jenis demokrasi (para pemikir dan pembela sistem demokrasi hanya mencoba membentuk konsep demokrasi agar dapat diterima). Secara kontras, analisis kami mengarah untuk meninggalkan konsep demokrasi, karena kami menemukan kekeliruan yang fundamental di dalam ide demokrasi itu sendiri yang tak bisa direkonsiliasi dengan cara diperbaiki atau secara reformasi. Kritik kami merupakan bentuk kritik terhadap segala bentuk demokrasi, entah itu representatif atau pun demokrasi secara langsung. Kami tidak menginginkan demokrasi yang lebih luas, kami menghendaki abolisi demokrasi secara keseluruhan.
Pada tulisan ini, kami menginvestigasi konsep alienasi dan bagaimana demokrasi mempromosikan alienasi. Kami mempertanyakan logika dekontekstualisasi dalam pengambilan keputusan, pembatasan ide dalam beropini, dan “aturan oleh mayoritas” yang diterima hampir secara universal. Kami juga akan membicarakan kritik akal budi demokrasi yang tak bisa lepas dari hasutan (propaganda), lobi-melobi, dan korupsi agar lebih mudah diterima oleh semua orang termasuk para pembela demokrasi, dan selanjutnya kami akan berbicara mengapa demokrasi sangat baik dalam mempertahankan dan “mereproduksi” dirinya sebagai sebuah sistem.
Definisi Demokrasi
Untuk permulaan, kami memberikan definisi atas apa yang akan kami kritik. Demokrasi adalah sebuah teori pemerintahan di mana hukum merefleksikan kehendak oleh mayoritas secara pemilihan langsung atau melalui dewan perwakilan. Legitimasi sebuah demokrasi dimulai dengan mengadopsi konstitusi, yang mana berguna untuk menetapkan dasar-dasar hukum, prinsip, tugas negara, kekuatan yang dimiliki oleh negara, beberapa hak individual untuk melindungi dari pelanggaran HAM yang mungkin dilakukan oleh pemerintah. Pencacahan dalam hak untuk melindungi individu dari kehendak mayoritas demokratis, sebuah konsep yang dikembangkan oleh para republikanisme selama penggulingan monarki.
Alienasi.
Pertama-tama, alienasi. Untuk memulai kritik terhadap demokrasi, kita memulainya dengan berbicara tentang kritik anarkis yang lebih umum tentang alienasi.
Para anarkis membedakan diri mereka dengan menyatakan hubungan langsung dan tidak terhalang antara pikiran dan tindakan, antara keinginan dan pemenuhan akan kebebasan. Kami menolak semua proses sosial yang memutuskan hubungan tersebut—seperti privat properti, hubungan pertukaran (uang), pembagian kerja, dan demokrasi. Kami menyebut itu semua sebagai hubungan yang menciptakan alienasi.
Passion dan keinginan hanya bisa tumbuh sebagai suatu yang membahagiakan saat itu semua merupakan kekuatan nyata dan pasti dalam hidup kita. Namun, dalam kondisi alienasi yang ada pada hari ini, passion dan keinginan dari diri kita diredam oleh rasa keterasingan karena kita menyadari bahwa kontrol terhadap diri sendiri tidak lagi kita miliki. Dalam konteks ini, mimpi hanya untuk para pemimpi, hasrat dan keinginan kita terus-menerus dihadapkan dengan ketidakmungkinan oleh keadaan yang ada. Dan saat kita merasakan bahwa kita telah kehilangan hasrat dan keinginan dalam diri yang seharusnya ada pada manusia secara alamiah untuk terus hidup, kondisi yang tersisa hanyalah rasa ketidak mungkinan untuk mengontrol diri sendiri, yang kemudian akan menjadikan kita manusia yang pasif. Bahkan hasrat untuk mengubah kondsi materil dan sosial di sekitar kita terbelenggu oleh alienasi, kepasifan dan ketidakberdayaan akhirnya membuat kita merasa tidak bisa apa-apa.
Masyarakat akhirnya terpisah menjadi dua, mereka yang seharusnya memiliki kemampuan untuk menciptakan kehidupan yang mereka tentukan sendiri, tidak lagi berdaya karena semua kontrol terhadap diri sendiri telah direnggut dari diri mereka, dan bagi mereka yang mengontrol segala bentuk proses yang menciptakan alienasi tersebut, yang mendapatkan keuntungan dari rasa keterasingan tiap indvidu pada suatu masyrakat, akan tetap berusaha mempertahankan kondisi ini untuk menjaga posisinya sebagai pengontrol dan penguasa. Kebanyakan dari kita merupakan bagian yang teralienasi dan dikontrol, sedangkan orang-orang seperti tuan tanah, para bos, serta politisi menjadi pengontrol dan penguasa.
Inilah mengapa para anarkis tidak menyetujui demokrasi, karena eksistensi demokrasi itu sendiri untuk mempertahankan perbedaan yang telah disebutkan di atas, pemisiahan itulah yang ingin dihancurkan oleh para anarkis. Demokrasi tidak menawarkan apa-apa selain mempertahankan alienasi pada kekuasan, karena syarat utama demokrasi adalah pemisahan antara kehendak untuk melakukan sesuatu dan kekuasaan untuk bertindak, segala usaha yang ada melibatkan penggunaan sistem demokrasi hanya akan mereproduksi kondisi yang telah ada. Segala jenis demokrasi dalam mengambil keputusan melalui voting (pemilihan umum) secara esensinya merupakan sebuah upaya untuk mentransferkan kehendak, kuasa, pikiran, otonomi serta kebebasan individu kepada kuasa yang di luar dari kita. Intinya segala kontrol pada diri kita sendiri tidak lagi sepenuhnya kita kuasai. Baik itu memberikan kuasa kepada perwakilan (representatif) atau pun kepada mayoritas yang memegang suara dalam membuat keputusan. Kau teralienasi dari kapasitas dan kemampuan untuk menentukan keberadaan dalam sebuah kooperatif bebas.
Ada sedikit perbedaan dalam hal ini. Partai merupakan sebuah politik yang mengaku dirinya sebegai perwakilan orang banyak/lain. Pengakuan seperti ini adalah sebuah alienasi dalam kuasa, karena saat ada orang/kelompok yang mengatakan ia mewakili diriku, aku dipisahkan dari kebebasa pribad yang aku miliki dalam/untuk bertindak. Dalam hal ini, anarkis bisa disebut anti-poltik. Kami tidak tertarik dengan klaim apa pun yang mengalienasi individu dari kuasa atas dirinya sendiri, dalam bentuk kepemimpinan, atau bentuk lain sebuah perwakilan, pergantian rezim, segala hal yang hanya akan tetap mempertahankan alienasi pada kekuasan. Jika sewaktu-waktu seseorang datang dan mengatakan bahwa ia akan mewakili dirimu, bergegaslah untuk waspada. Kami anti-politik karena kami hanya tertarik dalam self-organization dan kuasa pada tiap individu.
“tension towards self-organization is completely orthogonal to democracy in any of its various forms”
Dekontekstualisasi Sebagai Bentuk Alienasi
Kritik terhadap alienasi tidak bisa lepas dari masalah pada dekontekstualisasi (pemisahan dari konteks), karena dalam demokrasi, keputusan yang diambil dipisahkan dari konteks awal (hanya ditentukan oleh representatif, masyarakat yang diwakilkan tak lagi terlibat dalam pengambilan keputusan). Demokrasi memerlukan aturan, hukum, dan keputusan dibuat secara terpisah dari keadaan yang ada pada masyarakat umum, khususnya kelas pekerja — memaksa individu di luar dari representatif mengikuti apa yang telah ditentukan oleh representatif — seperti aturan dan hukum, individu atau kelompok masyarakat tidak diizinkan untuk memiliki otonomi dalam membuat keputusan yang sesuai dengan kondisi yang mereka anggap sesuai dengan keadaan mereka.
Untuk mengorganisir sebuah pemilihan sebagai pemecah kompleksitas sebuah masalah, pastinya memiliki sebab dan akibat, dan resolusi dari pemilihan ini direduksi hanya menjadi dua, yaitu “yes or no”/ setuju atau tidak. Pertanyaan akan menjadi tidak berguna bila metode awal yang digunakan salah. Proses mereduksi yang dibagi hanya menjadi dua seperti yang telah disebutkan sebelumnya, dikotomi tersebut bukanlah sebuah bentuk demokrasi. Bagaimana bisa? Dengan cara melakukan pemilihan sebelum pemilihan? Hal ini telah dicoba di beberapa tempat, seperti pemilihan dengan partai utama yang dijalankan dalam pemilihan di Amerika Serikat, atau di beberapa negara lainnya, tapi bahkan proses mengerucutkan perwakilan, yang mana setiap fase menyisihkan kandidat dan pilihan.
Opini
Demokrasi juga menuntut pentingnya “pendapat”. Para pemilih hanya menjadi penonton dalam suatu proses di mana mereka disajikan dengan pendapat/opini untuk dipilih yang sebelumnya telah ditentukan, sedangkan dalam realitanya orang yang membuat agenda inilah yang memegang kontrol. Kita semua telah melihat sloganeering dan reduksionisme yang terjadi ketika perwakilan atau pembicara mereduksi ide menjadi opini untuk dipilih.
Pengurangan ide menjadi opini untuk seleksi memiliki efek polarisasi pada mereka yang terlibat. Ketika “seleksi” adalah satu-satunya metode yang ada, maka tak ada lagi yang bisa dilakukan selain memilih “A” atau “B”, para pihak di kedua sisi masalah memisahkan diri mereka dan memperkuat kepastian mereka tentang “kebenaran”—daripada mengakui kompleksitas suatu masalah, berkumpul bersama untuk kompromi, atau mencari solusi bersama.
Pemungutan suara sangat menyerupai sistem ekonomi kapitalis yang selalu menyertai demokrasi. Ada yang menjadi produser dan mendikte agenda, dan ada konsumen yang menghabiskan waktunya sebagai spektator (penonton)—memilih opini dari marketplace of ideas. Pilihan ini juga menjadi sebuah permainan kompetitif, dan setiap keputusan akan berakhir dengan “pemenang” dan “pecundang”. Ini adalah bagian dari polarisasi yang terjadi dengan pengambilan keputusan dalam demokrasi—orang memperkuat posisi mereka dan berdebat sengit karena ide-ide mereka telah terkontaminasi dengan hasrat agar terlihat “benar” atau “pemenang” bahkan jika kompromi atau kesepakatan bersama dapat ditempuh sebagai alternatif lain.
Mayoritas
Di luar dari alienasi, penciptaan opini, atau dekontekstualisasi keputusan, demokrasi memiliki masalah nyata lainnya. Konsep “mayoritas” merupakan hal yang sangat meresahkan dalam demokrasi. Dengan selalu menerima kehendak mayoritas, demokrasi mengizinkan mayoritas untuk memiliki sebuah tirani absolut atas orang lain (minoritas). Ini berarti, pemenang mengambil semuanya dalam konteks demokrasi, minoritas tidak memiliki “influence” dalam pengambilan keputusan. Ini bahkan lebih buruk dari kelihatannya, karena kadang dalam beberapa situasi, seringnya mayoritas bukanlah mayoritas pada umumnya, melainkan kelompok-kelompok minoritas (seperti yang terjadi dalam demokrasi neoliberal di mana para pemegang modal yang memegang dan memengarhu kebijakan para birokrat).
Untuk kuasa minoritas yang stabil dan konsisten, skenario seperti demokrasi hanya menciptakan despotisme atau kediktatoran, dan membunuh kebebasan individu yang diasingkan dari proses pengambilan keputusan.
Dengan membuat ilusi dalam partisipasi bagi setiap orang, demokrasi menjustifikasi tindakan dan keputusan, tak peduli seopresif apapun aturan yang mereka ciptakan. Demokrasi menyatakan dirinya bahwa semua orang dapat berpartisipasi dalam proses politik, tidak ada salahnya memberikan hak pilih untuk kelompok dengan pendapat minoritas, karena kehilangan suara mereka hanya akan membenarkan tindakan yang bertentangan dari mayoritas. Demikian juga jika individu memilih untuk tidak berpartisipasi dalam pemungutan suara, tindakan mereka ditafsirkan sebagai persetujuan dari pendapat mayoritas, tidak ada jalan keluar lainnya. Model demokrasi satu orang satu suara tidak dapat menjelaskan kekuatan preferensi seorang individu, dua suara yang memiliki ketertarikan bertentangan seorang individu lainnya akan memilki hak dalam membuat keputusan yang akan berdampak pada seorang individu yang menentang dikarenakan kalah jumlah suara.
Dengan cara ini, mayoritas memberikan sangat sedikit peluang untuk keluar dari status quo. Dengan kata lain, seperti yang dikatakan Enrico Malatesta: “Adanya sebuah mayoritas di satu sisi tidak berarti mayoritas tersebut memegang kebenaran, peradaban manusia selalu berubah untuk lebih maju, melalui inisiatif, upaya individu dan kelompok minoritas. Sedangkan kelompok mayoritas memiliki sifat alamiah yang sangat lambat dalam upaya untuk membuat perubahan, mereka cenderung konservatif, juga tunduk pada kekuatan status quo dan hak-hak istemewa (privilese) yang telah mapan.”
Kritik Imanen
Kami juga memberikan beberapa kritik imanen mengenai demokrasi. Termasuk kerentanan demokrasi terhadap demagog, lobi-melobi demi kepentingan kelas pemodal, serta korupsi.
Demagog, atau pemimpin yang dipilih sebagai perwakilan masyarakat adalah salah satu strategi politik yang menggunakan propaganda serta hasutan (biasanya menggunakan isu SARA), hal ini bertujuan untuk menggerakan masyarakat menjadi berprasangka buruk dan bersifat reaksioner. Semua bentuk demokrasi mudah jatuh pada tangan-tangan demagog yang selalu bersifat opurtunis demi kepentingan pribadi dan kelompok kecil (representatif dan kelas kapital), dengan cara memfokuskan pada ketakutan, harapan, kemarahan dan kebingungan pada masyarakat umum.
Selain dari itu, demokrasi representatif sangat-sangat rentan pada lobi-melobi. Kelompok yang memiliki kepentingan khusus (biasanya dari korporasi besar) tak jarang mengirim perwakilan mereka ke dewan perwakilan untuk membujuk, mengancam atau menyuap mereka agar memberikan peraturan yang menguntungkan mereka dalam keputusan legislatif, pendanaan pemerintah, atau bantuan lain untuk kepentingan mereka sendiri. Karena mayoritas dari pejabat yang duduk di kursi kuasa datang dari industri, sektor bisnis, agamis, kelas atas. Dengan demikian mereka memiliki banyak kepentingan pribadi di luar kehendak dan kepentingan rakyat umumnya yang merupakan kelas pekerja ketika mereka menjabat.
Ada juga penyakit yang selalu muncul dalam demokrasi yang tak bisa lepas dari demagog ini, yakni munculnya individu-individu yang diubah menjadi pasif dan hanya menjadi penonton dalam proses pengambilan keputusan, atau ketika keterlibatan individu dalam usaha untuk menciptakan lingkungan sendiri direduksi menjadi sekadar pemilihan pendapat. Tidak seperti orang-orang yang telah mengidentifikasi masalah pada demokrasi yang tak bisa lepas dari demagog, lobi-melobi, juga korupsi, kami tidak mengiinginkan dan menyarankan untuk mengubah demokrasi yang mana hanya akan menjanjkan diri kami sebagai demagog yang lebih baik. Isu seperti reformasi keuangan dalam kampanye bukanlah jalan keluar dan kami pun tidak tertarik dalam hal tersebut. Karena ketika mengakui tirani yang ada dalam manipulasi politik, kami tidak mengiinginkan perubahan yang hanya menggantikan posisi para tiran saat ini. Demokrasi hanya menawarkan pilihan untuk melepaskan diri dari penindasan dengan cara menjadi penindas—kebebasan terletak pada penghapusan seluruh institusi.
Reproduksi Demokrasi
Demokrasi dipandang sebagai satu-satunya legitimasi mengeluarkan ekspresi atau kekuatan pengambilan keputusan dengan sangat sedikit penjelasan bagaimana atau mengapa itu terjadi. Manusia pada zaman ini hidup dalam demokrasi atau di dalam negara yang didominasi ekonomi dan militeristik negara-negara demokrasi. Berdasarkan dua pilihan ini, masuk akal bila kita menyimpulkan demokrasi berarti kebebasan dan kebahagiaan. Di sini, di Amerika Serikat, indoktrinisasi dimulai pada sekolah dasar, penghormatan pada bendera negara dan menyanyikan lagu-lagu kebangsaan sebagai bentuk ikrar kecintaan pada negara dan demokrasi. Namun, keberadaan satu status quo tidak akan menghapuskan keberadaan kondisi lain di masa lalu atau mengubah masa depan dan kita harus menerapkan pemikiran kritis kita bagaimana demokrasi menempatkan dirinya sebagai syarat utama dalam kebebasan yang diperlukan.
Saat demokrasi membentuk diskusi kita dan memaksa untuk memperdebatkan makna dari demokrasi itu sendiri, segala bentuk tindakan untuk mengubah kondisi sosial-politik harus melalui proses demokrasi yang telah ditetapkan (pemilihan umum), jika tidak maka akan mendapat hukuman. Karena alasan inilah, demokrasi mereproduksi dirinya sendiri dengan sedikit upaya khusus dari kelas penguasa. Sebuah sistem demokratis “aturan mayoritas” mendorong kelas pekerja yang terasing dan tereksploitasi untuk merasa seperti mereka memiliki kontrol dalam demokrasi, sementara itu kenyataannya kontrol kuasa dalam demokrasi tetap berada di tangan-tangan penguasa yang mengeksploitasi kelas pekerja. Bahkan kontradiksi yang paling jelas diabaikan karena demokrasi telah menyamakan keberadaannya dengan kebebasan dan menempatkan keberadaannya di luar bidang ide-ide yang dapat diperebutkan. Dengan mengklaim dirinya sebagai prinsip utama kebebasan individu dan sosial, demokrasi tampak seperti sumber kebaikan publik yang toleran dan lentur terlepas dari semua pengawasan yang dilakukan mengatasnamakan demokrasi.
Sementara itu, ide utama tentang satu orang satu suara atau “aturan mayoritas” berarti masyarakat biasa memiliki kekuatan dan kekuasaan tidak peduli seberapa banyak bukti yang ada, sedangankan dalam kenyataannya demokrasi sangat bertolak belakang dengan ide yang melekat pada dirinya sendiri. Mengikuti logika seperti ini, seseorang harus berada di dalam sistem demokrasi tersebut untuk untuk mengubahnya, jika tidak maka ia tidak akan ada yang berubah. Secara hipotetis, kita percaya pada keadilan, kebebasan, atau tidak sama sekali. Dikarenakan kita pecinta kebebasan, seseorang yang demokratis secara alamiah seharusnya akan bertindak untuk mengakhiri penindasan saat melihat masih adanya penindasan terjadi, itu berarti bahwa jika suatu kebijakan hukum boleh diciptakan untuk menindas individu. Jelas rangkaian pemikiran ini tidak akan pernah membawa kita menuju ke masyarakat yang benar-benar bebas dan setara.
Namun menolak logika seperti ini tanpa mengadopsi kritik yang lebih umum tentang demokrasi hanya akan membawa kita pada kesimpulan mencurigakan yang sering disuarakan oleh kaum progresif, seperti faksi liberal di Amerika Serikat (juga di Indonesia). Kedengarannya selaras, pemerintah kita mengecewakan kita karena kita rakyatnya terlalu apatis, atau terlalu tidak sadar, atau terlalu bodoh, atau terlalu apa pun untuk menghasilkan kekuatan besar kita seperti yang seharusnya kita miliki. Jika kita para progresif bisa memobilisasi, memberi informasi, atau mendidik masyarakat, maka semuanya akan berjalan dengan baik. Sekali lagi, kelas penguasa hanya perlu bersantai selama kita saling menyalahkan satu sama lain, tidak menyalahkan mereka sebagai pemegang kuasa yang menciptakan alienasi dalam masyarakat modern saat ini, dan ini akan berlanjut sampai kita menyadari kelemahan intrinsik dalam konsep demokrasi itu sendiri dan menolak untuk mereproduksinya.
Kita mereproduksi demokrasi dengan mendukungnya dengan suara kita dan kepatuhan harian kita terhadap hasil pemilu. Jika kau memahami bahwa demokrasi tidak akan pernah membiarkan kau bertindak di luar parameternya yang sempit dan kau menerima kritik kami terhadap kekuasaan mayoritas, maka pemungutan suara dan pemilihan hanya berfungsi untuk menegaskan kembali dan melegitimasi kekuasaan negara tidak peduli bagaimana dan siapa orang yang dipilih. Dalam pemungutan suara, kau dapat berinisiasi atau menolak kebijakan, atau seorang legislatif, apapun kecuali sistem demokrasi itu sendiri. Oleh karena itu, kelas penguasa dari pemerintahan yang demokratis secara keseluruhan tidak menemukan ancaman nyata dalam setiap proses dan hasil pemilihan umum, meskipun setiap politisi dibenci oleh masyarakat umum.
Banyak sejarawan politik telah menunjukkan bahwa pemerintah memberikan hak pilih kepada kelompok-kelompok yang kehilangan haknya selama periode ketika diperlukan dukungan (pemilu) massa untuk mencapai suatu tujuan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya, ini adalah strategi klasik, jika anda ingin mendapatkan sesuatu, anda juga harus memberikan sesuatu. Selanjutnya, pemberian hak pilih memungkinkan pemerintah untuk menyalurkan energi gerakan massa yang mungkin telah menjadi tantangan nyata untuk menyatakan kekuasaan ke dalam bentuk tindakan yang aman—pemungutan suara—yang mengurangi kecepatan dan besarnya perubahan yang diinginkan sambil secara bersamaan mereproduksi demokrasi secara terus menerus.
Gerakan hak untuk memilih dalam pemilihan umum di Amerika Serikat hanya berhasil membuat orang-orang kulit hitam dan wanita “bebas” dari marginalisasi yang sebelumnya legal untuk terlibat langsung dalam sistem marginalisasi yang sama sekali tidak ada perubahannya. Sebagai hasil dari upaya gerakan tersebut, semua warga negara Amerika Serikat memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi dalam sistem yang menindas dan berharap itu berhasil sesuai dengan apa yang mereka harapkan. Bahkan, seorang pengamat yang cerdik akan melihat debat publik tentang siapa yang bisa atau tidak bisa memilih sebagai red herring (pengalihan isu/pemecah suara). Pemerintah menggunakan pemilhan umum untuk mengurangi tuntutan minoritas dan menguras energi dalam upaya untuk membangun organisasi kolektif atau aksi langsung.
“Where there’s smoke, there’s fire, and where there’s suffrage, there’s motivated marginalization”
Saat kita memakan umpan dari pemerintah yang bernama voting, kita memberikan kekuasaan yang kita miliki kepada mereka yang kemudian akan mereka gunakan untuk mengontrol diri kita secara sepenuhnya. Pemilihan umum cenderung membuat manusia menjadi semakin pasif, menawarkan keselamatan dengan memberikan kepercayaan pada representatif atau mayoritas daripada melalui tindakan yang diarahkan oleh kesadaran diri sendiri. Pemisahan antara pemimpin dan pengikut berkembang di mana pemilih berdiri di samping sebagai penonton pemerintah mereka sendiri, bukan sebagai individu bebas dalam menentukan hak mereka sendiri. Hampir semua jenis sistem politik menyampingkan kesempatan untuk melakukan tindakan secara langsung, namun demokrasi memiliki kemampuan berbahaya untuk mereproduksi dirinya sendiri sebagai sistem restriktif sambil terus-menerus memasukkan lebih banyak orang ke dalam retorika “biarkan kebebasan berdering” membuatnya sangat licik.
Demokrasi Hanyalah Satu Komponen di Kehidupan Kita
Organisasi politik formal hanya membahas aspek-aspek tertentu dari realitas material, dan dengan demikian demokrasi tidak sepenuhnya menentukan hak kita untuk menentukan nasib sendiri. Misalnya, kebebasan apa pun yang dirasakan seseorang di bawah pemerintahan demokratis di jalanan tidak meluas ke tempat kerja. Upah minimum, jam kerja maksimum, kondisi keselamatan dalam kerja, dan kondisi peraturan lainnya yang diberlakukan melalui pemerintah di bawah tekanan dari aksi langsung dan kampanye akar rumput dapat meningkatkan kondisi kerja dan melarang penyalahgunaan juga penindasan. Meskipun demikian, majikan dan karyawan tidak berinteraksi sebagai dua hal yang secara demokratis. Seseorang memiliki peran sebagai bos, pekerja lainnya, dan keduanya membayar dengan nyawanya dalam arti untuk peran itu—tetapi pemilihan lain tidak akan mengubah itu.
Demokrasi ada hanya sebagai sebagian dari seluruh ekistensi dalam kehidupan kita. Bila disertai oleh kapitalisme sebagai sistem ekonomi, kita menghadapi kesulitan yang juga sama. Kita sebelumnya telah menunjukkan bagaimana demokrasi memediasi tindakan individu, tetapi tindakan yang dihasilkan oleh petinggi negara atau referendum dapat gagal dengan cara yang sama. Karena sebenarnya, kelas penguasa kapitalis mengontrol proses demokrasi dengan tekanan-tekanan tertentu yang tidak secara terang-terangan diakui sebagai bagian dari proses demokrasi, dan yang tentunya hal ini sangatlah bertentangan dengan demokrasi itu sendiri. Hal ini membuat undang-undang dan peraturan yang bersifat “progresif” menjadi sangat susah, karena tindakan progresif merupakan musuh bagi para kelas penguasa kapitalis, dan undang-undang progresif secara perlahan akan memprovokasi perubahan dalam sektor ekonomi, yang tentu saja tidak diinginkan oleh mereka. Seperti yang dikatakan Jaques Camatte,
“The specialist has become a bird of prey, the bureaucrat a miserable boot-licker.”
Demokrasi Langsung Bukan Berarti Anarki
Kami berharap setelah kami menjelaskan bahwa mayoritarianisme dalam bentuk apapun berarti penindasan terhadap kebebasan individu, dan pembatasan dalam melakukan tindakan langsung yang dimiliki tiap individu demi penangguhan dalam pengambilan keputusan. Karena alasan itulah, saat meneliti dan mengumpul sumber untuk menulis kritik ini, sangat mengejutkan saat melihat situs-situs web yang menyatakan dirinya sebagai anarkis justru menginginkan demokrasi langsung. Para anarkis percaya pada hubungan tanpa perantara antara individu-individu yang bebas, tidak adanya kekuatan yang memaksa atau mengasingkan dalam hubungan bermasyarakat, dan hal ini seharusnya tidak perlu dipertanyakan lagi, sebuah hak universal untuk menentukan nasib sendiri.
Keyakinan-keyakinan seperti itu tentunya akan menghasilkan berbagai jenis pandangan tentang dunia, tetapi ketika hal ini benar-benar dipegang ia tidak akan pernah mengarah ke demokrasi. Bahkan “demokrasi langsung” menghendaki penyerahan kekuasan individu kepada status quo yang akan menghasilkan hierarki di mana sebuah kelompok di atas individu, hal ini juga akan memisahkan kita dari hasrat dan keinginan dalam merealisasi dalam bertindak secara langsung. Siapa pun yang mau melepaskan prinsip-prinsip ini sebaiknya tidak menggunakan atau menyebut dirinya sebgai “anarkis” —mungkin istilah yang lebih tepat adalah “libertarian”. Libertarian dalam hal ini bukan berarti Libertarian yang sering disebut oleh para liberal, karena Libertarian sebenarnya lahir dari spektrum kiri.
Kesimpulan
Tidaklah susah untuk melihat bagaimana demokrasi mempercepat tumbuhnya alienasi yang terjadi pada lingkungan dan diri kita, ia juga mereduksi ide tiap individu untuk mengeluarkan opini, pengambilan keputusan secara dekontekstual, berdasarkan “aturan mayoritas” dan poin-poin yang telah dijelaskan di atas. Ini bukan masalah bagaimana demokrasi itu diimplementasikan, melainkan penyakit yang ada dalam proses demokrasi itu sendiri.
Tidak seperti partai politik, hal-hal yang telah dijelaskan di atas adalah alasan mengapa para anarkis (tidak tertarik memanfaatkan kekurangan-kekurangan ini untuk keuntungan kita sendiri) menolak demokrasi sepenuhnya.
Catatan: tulisan ini merupakan terjemahan dari An Anarchist Critique of Democracy, 1-11-2005 oleh Moxie Marlinspike dan Windy Hart
Sumber: Retrieved on June 21, 2012 from http://web.archive.org/web/20100908090936
//www.againstallauthority.org/democracy.html , transcript of
http://audioanarchy.org/radio/democracy